Tuesday, August 28, 2007
by
ismansyah
"Hei itu kan untuk anakmu, gimana sich ni kucing" begitu tadi seorang mahasiswa memarahi seekor induk kucing. Tapi si induk kucing cuek aja seperti tidak mengerti perkataan si mahasiswa itu (memang tidak mengerti kan?) merampas remah-remah makanan yang diberikan oleh mahasiswa tadi. Sebelumnya saya juga berpikiran demikian , 10 menit yang lalu saya melihat juga kucing itu dan 3 ekor anaknya mengais-ngais tumpukan kecil sampah dan begitu menemukan makanan si induk langsung melahapnya tanpa membagikannya ke anaknya. Si anak-anak kucing dengan wajah iba berusaha merebut makanan itu dari mulut ibunya, akan tetapi si induk bersikeras dan berusaha untuk mempertahankan makanan itu. Seketika sisi kemanusiaan saya muncul dan berkata, "bagaimana bisa seorang ibu berbuat demikian?". Akan tetapi saya teringat kembali kalau 15 menit yang lalu si induk masih menyusui anaknya dengan penuh kesabaran. Kalaulah si induk kucing adalah seekor ibu yang egois, mungkin si anak-anak kucing tidak akan disusui, mungkin akan dibiarkan saja kelaparan. Tapi tidak!, bahkan disela-sela menyusui ia masih sempat menjilati kepala anak-anaknya dan ketika saya pegang anak-anaknya ia masih sempat mengeong pertanda ia tidak terlalu suka anaknya diusik (paling tidak ia berkata "apa yang sedang kamu lakukan?!")  Maka saya mengambil kesimpulan mungkin si induk kucing hendak mengajari anak-anaknya bagaimana untuk menjadi seekor hewan, menjadi seekor binatang, berjuang untuk mempertahankan hidup, siapa yang kuat dialah yang menang! (secara teori ini hanya berlaku untuk dunia kebinatangan) Barangkali saja hampir identik dengan norma-norma universal yang kita dapatkan dari orang tua kita untuk menjadi seorang manusia, setidaknya bagaimana menjadi seorang manusia dalam pandangan mereka. Lantas setelah tidak mendapat respon lagi dari rintihan eongannya dari si mahasiswa, si induk kucing pergi dan diikuti oleh ketiga anaknya. Lalu si induk terdiam sebentar dibawah lindungan pohon kecil, kemudian merendahkan kedua kaki belakangnya dan terduduk. Anak-anaknya mengitari si induk secara tak beraturan sambil mengeong-ngeong kecil. Lalu si induk berbaring bermalas-malasan begitu juga ketiga anak-anaknya. Dasar kucing! (kerjanya hanya makan, tidur, makan, tidur,..enak banget kayanya jadi kucing) Gambar dari : http://www.kensingtoncat.traditionalcats.com/images/Kittens/Current/2003-
 |
2 comments »
by
ismansyah
Barangkaali memang pengalaman saya untuk tema-tema mengenai cinta sedikit lebih banyak daripada tema yang lain sehingga kebanyakan isi blog ini didominasi oleh tema seperti itu. Atau barangkali juga untuk tema semacam itu "emosi" saya bisa langsung tergugah, keluar dengan cepat, mengalir begitu saja tanpa ada yang menghambat. Atau kemungkinan lainnya adalah tema tentang cinta adalah tema umum, hampir semua orang pernah mengalaminya, sehingga mudah dicerna.
Bukan tidak pernah, bahkan sering saya mencoba untuk membuat puisi yang bertema lain, misalkan tentang kemanusian, akan tetapi setelah saya baca lagi, sungguh sama sekali "tidak berasa" terkesan dipaksakan. Apalagi jika tema yang saya angkat tentang keTuhanan, isinya hampa sekali.
Bisa jadi saya menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk puisi-puisi yang bertema keTuhanan, misalkan membandingkannya dengan keindahan surah Ar'rohman ataupun kaagungan Ayat Kursi. Mental saya langsung jatuh tersungkur jika dihadapkan dengan "puisi-puisi" seperti ini, lantas melihat kembali puisi buatanku dan berkata dalam hati, "apakah aku telah membuat puisi? atau hanya catatan harian?"
Akan tetapi saya tahu sebuah syair yang bagus dari Rumi tentang keTuhanan yang sempat membuat saya tercengang, bagaiman mungkin ia bisa membuat puisi seindah itu? (sebenarnya pertanyaan ini sangat mudah dijelaskan, Rumi adalah seorang penyair Profesional, sedangkan saya amatir pun tak sampai, hanya penikmat) saya jadi iri dan saya yakin sekali puisi itu sangat jujur, berdasarkan pengalaman beliau. Pada puisi tersebut beliau berhasil menceritakan pengalaman spiritual dan kedalaman perenungannya dengan metafora-metafora yang bukan saja elegan (elegan disini maksudnya sederhana sehingga cukup mudah dipahami, namun indah), tapi juga logis.
WASPADALAH! jangan biarkan dirimu melakukan, Apa yang engkau tahu salah dengan mempercayai pikiranmu; "kelak aku akan bertobat dan memohon ampun kepada Tuhan" Pertobatan sejati menggemuruhkan penyesalan dan hujan air mata, Yang kepadanya cahaya dan awan mata dibutuhkan, sebagaimana kehangatan dan hujan dibutuhkan untuk menghasilkan buah.
Tanpa cahaya hati dan awan-awan mata, Bagaimana mungkin api kemurkaan Ilahi ditenangkan? Bagaimana tetumbuhan tumbuh dan sumber-sumber air jernih memancar?
Jalaluddin Rumi MATSNAWI II :1652-6
 |
no comment »
Tuesday, August 14, 2007
by
ismansyah
Bila kita bertanya pada pena Apakah ia yang menulis sajak tentang cinta
Maka, ia kan menunduk saja Pena tak tahu hal ikhwal cinta
Apakah tinta itu cinta? Ia balik bertanya
juli 07
 |
3 comments »
Friday, August 10, 2007
by
ismansyah
Tiba-tiba saya berada di tengah-tengah pertemuan para petinggi parpol. Ramai sekali, tapi saya hanya ingat beberapa petinggi parpol-parpol besar, ada pak Gusdur, bu Megawati, dan pak Akbar tanjung. Tak tahu agenda apa yang mereka buat disitu akan tetapi suatu hal yang sangat terasa bahwa pada saat itu bu Megawati begitu disegani seoalah-olah seperti seorang Ratu. Semua orang menyalaminya (termasuk saya) dengan rasa hormat yang berlebihan. Lalu sosok Akbar Tanjung digambarkan sebagai sosok yang pendiam dan cenderung berada di belakang orang-orang, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Gusdur sempat berbicara kepada saya tapi saya lupa apa yang dikatakannya (gambaran Gusdur pada saat itu adalah seorang yang masih muda, sekitar 35 tahun dengan keadaan fisik yang sangat baik)
Cerita diatas adalah mimpi saya kemaren pas ketiduran di siang bolong. Saya bingung bisa-bisanya saya mimpi seperti itu padahal beberapa hari ini saya tidak berpikir masalah yang seperti itu (kenapa tidak mimpinya hal-hal yang indah saja?). Kemudian saya berpikir sejenak dan tiba-tiba teringat dengan PILKADA jakarta yang salah satu calonnya didukung oleh koalisi 20 partai (harusnya masuk rekor MURI tuh, kata seseorang yang menulis di kolom sebuah surat kabar)
Tadi pagi baca surat kabar Fauzi Bowo menang dengan perolehan suara 58% (benarkan?) Saya bingung sendiri apakah mimpi kemarin itu memang sebuah pertanda akan perolehan suara PILKADA? atau juga pertanda "sesuatu" pasca PILKADA setelah terpilihnya Gubernur DKI yang baru? Soalnya beberapa minggu yang lalu saya juga pernah bermimpi tentang sesuatu yang menjadi kenyataan di masa depan (meskipun dalam ruang lingkup yang lebih kecil dan kenyataannya terbalik dengan mimpi saya)
Kemudian saya berpikir barangkali memang tidak seutuhnya pernyataan Freud yang intinya mengatakan bahwa mimpi adalah masa lalu itu benar. Bisa jadi mimpi bukan hanya sebuah imaginasi yang tak tersampaikan, atau hanya sekedar bunga-bunga tidur tetapi bisa juga sebuah pertanda di masa depan(?) Misalkan seperti kisah nabi Yusuf yang meramalkan bencana kekeringan dan kelaparan di negri nya.
Tapi setelah saya berpikir lagi saya berkata pada diri sendiri "wah itu kan nabi, saya bukan seorang nabi, dan itu juga dulu. Dulu para wali diberikan wangsit memang lewat mimpi tapi sekarang ...hmm..ya sudah mungkin itu benar hanya bunga-bunga mimpi saja atau setidaknya hanya sebuah faktor kebetulan " (abis itu cuci muka lalu berangkat ke kampus)
 |
no comment »
Friday, August 03, 2007
by
ismansyah
Musim bunga sudah tibaMerah hati, dan biru tuaAku, masih menunggu sajak,yang tak pernah tertuliskanDan anak-anak baru itu,Mereka akan bertemu dunia baruYang tak terbayangkanMeski sudah dipikirkanDan aku,Masih tetap menunggu sajak yang tak pernah tertuliskan.juli 2007Labels: sajak
 |
5 comments »
by
ismansyah
Jika sayapku patah, lagi Biarlah kita, berjalan kaki Lagipula, aku lelaki
Kakiku lebih kuat dan berurat Tak kubiarkan kakimu penat
Tapi,..jalan ini masih panjang alurnya, berbelok-belok pula. Haruskah kau kuajak serta?
Ya sudah,..tidak usah, nanti kau kujemput saja.
juli 2007
Labels: puisi
 |
no comment »
|
AKU
|